Ratusan Konflik Lahan Sawit Ditemukan di 4 Provinsi

oleh -46 views
Bedah buku tentang konflik lahan sawit di UGM
Bedah buku tentang konflik lahan sawit di UGM. (Dok. Fisipol UGM)

Panennews.com – Konflik lahan kelapa sawit antara masyarakat dengan korporasi masih ditemukan di Indonesia. Kondisi ini harus dituntaskan karena mempengaruhi status Indonesia sebagai pengekspor minyak kelapa sawit.

Hal ini ditemukan tiga peneliti asal Universitas Andalas, Leiden University, dan Wengeningen University, saat meneliti terhadap 150 kasus konflik sawit yang dituangkan dalam buku “Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit Indonesia” dan dikupas di di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (21/8/2023).

Penelitian konflik lahan kelapa sawit ini dilakukan di empat provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Barat.

“Kami mempelajari pola-pola konflik, menelaah cara komunitas memprotes, dan sejauh mana mereka mendapat solusi atas masalah mereka,” ujar Prof. Afrizal, Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas.

Penelitian tersebut mengungkap berbagai kasus pelanggaran perusahaan kelapa sawit terhadap hak-hak masyarakat atas lahan mereka. Total ditemukan terdapat 99 kasus di mana perusahaan mengambil dan mengelola lahan masyarakat tanpa persetujuan.

Baca Juga :   Kementan Kembangkan Produksi Kebun Sawit Dari Hulu Ke Hilir

Guru Besar Wangeningen University, Prof. Otto Hospes menyatakan muara utama dari kemunculan masalah ini adalah situasi kehampaan hak yang terjadi di tingkat provinsi dan desa.

“Secara formal, masyarakat jelas memiliki hak terhadap lahan mereka. Perusahaan harus memperoleh persetujuan dan izin sebelum menjadikan lahan masyarakat sebagai perkebunan. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat berhak atas skema bagi hasil, mengorganisasi diri, dan memprotes. Tapi faktanya yang terjadi tidak seperti itu,” ucapnya.

Hasil riset menemukan 19% kasus perusahaan membangun kebun kelapa sawit di kawasan hutan tanpa izin, serta 67 kasus perusahaan tidak membayar kompensasi atas lahan masyarakat. Bahkan, terjadi intimidasi dan kekerasan terhadap orang-orang yang melakukan protes.

Dr. Maharani Hapsari, dosen Hubungan Internasional, Fisipol UGM, menyatakan warga yang protes menuntut haknya di konflik ini kerap diasumsikan lemah.

“Padahal bisa dilihat bahwa perjuangan mereka atas tanahnya berlangsung 11-35 tahun, hampir setengah hidup seseorang,” ucapnya.

Baca Juga :   ”Serabi” Sleman Manfaatkan Lahan Tidur untuk Atasi Inflasi

Menurutnya, strategi mengatasi konflik itu lebih efektif di tingkat domestik dan internal.

“RSPO (Roundtable on Suistanable Palm Oil) adalah satu mekanisme yang banyak diimpikan tata kelola pemerintah di ranah global. Tapi kalau kita lihat realitasnya saya kira justru sebaliknya, semakin lokal perjuangan itu maka semakin efektif,” kata Maharani.

Ia juga menekankan bahwa perjuangan hak-hak masyarakat akan sangat mempengaruhi perkembangan konflik. Banyak perusahaan sawit yang belum memahami bahwa daya guna usaha juga merupakan hak masyarakat.

“Sekarang kan sudah banyak juga kebijakan yang mendorong hilirisasi industri sawit. Nah, masyarakat itu juga harusnya memiliki potensi untuk melibatkan diri dalam hilirisasi ini,” katanya.

Ia juga menyebut pentingnya aspek pendidikan soal industri kelapa sawit.
“Kita harus bicara mengenai pendidikan tentang industrialisasi kelapa sawit jika ingin menjadikan industri ini sebagai backbone ekonomi kita,” ujar Maharani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.