Panennews.com – Indonesia memiliki hutan mangrove terbesar di dunia, dengan luasan 20-25% dari ekosistem mangrove dunia.
Oleh karena itu, peran penting hutan mangrove atau hutan bakau, tidak saja menjadi perhatian di lingkup nasional, tetapi juga internasional.
Hal ini terlihat dari banyaknya badan dan organisasi internasional yang menaruh perhatian terhadap mangrove di Indonesia, salah satu di antaranya World Bank.
Selain berperan sebagai penahan abrasi dan tsunami, serta pendukung ekosistem ikan dan kepiting, mangrove juga mampu menyerap emisi karbondioksida lebih efektif dibandingkan hutan hujan atau lahan gambut.
Hal tersebut disampaikan Plt. Kepala Pusat Riset Hukum (PRH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Emilia Yustiningrum saat membuka webinar “Agenda Restorasi Mangrove Nasional Indonesia: Menuju Kebijakan dan Tata Kelola yang Lebih Kuat”. Kegiatan berlangsung di Widya Graha BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Kamis (01/08/2024).
Senada dengan itu, Hasna Nikmah, Perwakilan World Bank di Indonesia mengungkapkan bahwa tren global menunjukkan semakin banyak negara yang menaruh perhatian lebih terhadap pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan.
“Hingga 2023, Global Mangrove Alliance mencatat ada 97 negara yang telah memasukkan ekosistem pesisir dan laut, termasuk mangrove, ke dalam program Nationally Determined Contributions (NDC) sebagai bagian dari upaya menurunkan emisi karbon untuk mencegah krisis iklim,” jelasnya.
Menurut Hasna, upaya tersebut merupakan kontribusi tiap negara anggota PBB yang menandatangani Perjanjian Paris 2015 dalam menurunkan emisi karbon dan bersama-sama mencegah krisis iklim. Salah satu targetnya adalah penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga tahun 2030.
“Saat ini setidaknya 20 negara telah mengadopsi kebijakan nasional yang secara khusus dan eksplisit menargetkan hutan bakau, termasuk Brasil, Thailand, dan Senegal,” ujarnya.
Ditambahkan Hasna, Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam konservasi dan restorasi hutan mangrove melalui berbagai kebijakan, mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, hingga pembentukan satu badan khusus, yakni Badan Restorasi Hutan Gambut dan Mangrove melalui Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020.
Namun, tantangan utama dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan di Indonesia adalah belum adanya kebijakan menyeluruh dan pendekatan pengelolaan sektoral yang efektif.
Bank Dunia mencatat setidaknya ada 20 lembaga yang terlibat dalam pengelolaan mangrove (2020). Sebagian besar dikelola oleh pemerintah pusat (atau dinas teknis) dan peran pemerintah daerah yang tidak jelas.
Lebih lanjut Hasna menyoroti komitmen Pemerintah Indonesia dalam memulihkan mangrove. Pada Desember 2020, diumumkan Program Mangrove Nasional berskala besar dengan tujuan memulihkan 600.000 ha mangrove pada tahun 2024.
“Kebijakan ini sedang diselesaikan untuk memperkuat koordinasi dan harmonisasi antarlembaga lintas sektoral, baik di tingkat nasional maupun daerah melalui Rancangan Peratuan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove” tutupnya.