Panennews.com – Penyakit mosaik bergaris atau biasa disebut dengan Virus Sugarcane Streak Mosaic Virus (SCSMV) adalah salah satu penyakit tebu yang perlu segera diatasi.
SCSMV berbeda dengan penyakit mosaik yang sudah ada sejak lama di Indonesia. Penyakit mosaik bergaris pertama kali ditemukan tahun 1998 di Pakistan & India, kemudian menyebar ke Bangladesh, Sri lanka, Vietnam, dan Thailand.
Di Indonesia penyakit ini pertama kali ditemukan di Jawa Timur pada varian PS 864 pada tahun 2005. Diduga penyakit ini lolos dari karantina saat Indonesia belum memiliki alat pendeteksi.
Demikian Titiek Yulianti, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Perkebunan, BRIN mengawali paparannya dalam “Sharing Session” EstCrops_Corner#4 bertema “Status Perkembangan Penelitian Penyakit Mosaik Bergaris, Luka Api dan Penyakit Pembuluh pada Tebu di Indonesia,” pada Minggu (03/06/2024).
“Penyakit-penyakit yang menyerang tebu berbeda dari waktu ke waktu. Hal tersebut disebabkan perubahan sistem tanam, perubahan ekosistem, pergantian jenis varietas yang ditanam, dan terjadinya perubahan iklim. Ekosistem sawah ke tadah hujan menyebabkan varietas yang ditanam harus beradaptasi di lingkungan yang lebih kering, sehingga memicu timbulnya penyakit baru. Selain itu penggunaan varietas resisten terhadap penyakit tertentu secara luas dan dalam kurun waktu lama akan menimbulkan patahnya ketahanan atau ledakan penyakit baru lainnya,” imbuh Titiek.
Tak hanya itu, Titiek menambahkan, penyebaran penyakit mosaik akan sangat agresif pada tebu yang ditanam pada lahan lahan tadah hujan sehingga petani dapat mengalami kerugian panen sebesar 17-26%.
“Gejala mosaik bergaris berbeda dengan mosaik biasa. Gejalanya ditunjukkan dengan timbulnya garis-garis halus pada helaian daun tebu berwarna hijau muda, kuning atau putih yang berselang seling dengan warna hijau yang normal pada daun tebu”
Lebih lanjut Titiek memaparkan, di Indonesia penyakit ini mulai merajalela sejak tahun 2009 dan hampir mencapai 90% perkebunan tebu di Jawa terinfeksi, kecuali Subang dan Jatitujuh di Jawa Barat.
Survei tahun 2015-2017 menunjukkan penyakit ini semakin menyebar ke Subang, Sumatera, Sulawesi Selatan (Kecuali Bone), dan Kendari.
Penyakit mosaik bergaris ini belum ditemukan di Gorontalo dan Indonesia Timur, namun di perkebunan baru Bombana dan Seram telah ditemukan penanaman bibit varietas yang sudah terinfeksi yang berasal dari Jawa.
“Penyebaran penyakit mosaik terjadi akibat pengiriman bibit yang terinfeksi mosaik bergaris dari Jawa dan penyakit ini dapat menyebar juga ke tebu liar dan kerabatnya. Hal ini juga ditengarai adanya penemuan serangga vektor, sehingga perlu kewaspadaan ekstra terhadap penyakit mosaik,” ujar Titiek.
Titiek menjelaskan, untuk upaya pengendalian terpadu sangat diperlukan, seperti varietas tahan, bibit sehat, pengendalian vektor.
Selain itu, Titiek juga menyampaikan dirinya dan tim pernah melakukan penelitian penyakit ini dengan skrining varietas tahan, penyediaan benih sehat (penggunaan kultur meristem dan ribavirin, pengembangan teknik deteksi dini, dan vektor.
Sementara itu untuk deteksi vektor hingga saat ini masih belum terdeteksi, namun di Vietnam, Sri Lanka dan beberapa negara ditengarai jika spesies Aphids merupakan salah satu vektor yang patut dicurigai sebagai vektor penyakit mosaik bergaris.
“Kedepannya kita perlu melakukan identifikasi marka ketahanan untuk mencari sumber ketahanan. Hal ini penting untuk mempercepat kita dalam mencari sumber ketahanan indukan yang dapat digunakan untuk persilangan varietas atau klon-klon unggul yang tahan terhadap penyakit mosaik bergaris. ” tutupnya.