Panennews.com – Yusmani, Ilmuan asal Trenggalek menyampaikan hasil risetnya mengenai cendawan entomopatogen (CEP) sebagai pengendali hama kedelai.
Adapun itu dalam Orasi Pengukuhan Professor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang diselenggarakan di Gedung BJ Habibie, Jakarta.
Penemuan ini memberikan harapan baru bagi para petani dalam mengendalikan hama kedelai dengan cara yang lebih ramah lingkungan.
Dalam penelitiannya, Yusmani menjelaskan bahwa CEP merupakan mikroorganisme parasit yang mampu membunuh serangga hama. Tiga jenis CEP yang ditemukan dalam penelitiannya, yaitu Lecanicillium lecanii, Beauveria bassiana, dan Aschersonia aleyrodis, terbukti toksik terhadap berbagai jenis hama kedelai.
“Keunggulan CEP ini tidak hanya terletak pada efektivitasnya dalam membunuh hama, tetapi juga mampu menghambat resistensi dan resurjensi hama, menghasilkan produk yang lebih organik dan kaya antioksidan, serta ramah lingkungan,” jelas Yusmani.
Pria yang meraih gelar doktor dalam bidang entomologi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menjelaskan proses penelitian dan pemanfaatan ketiga jenis CEP itu tidak mudah, butuh waktu panjang.
Itu dimulai sejak tahun 2006 saat dia mulai mendalami riset pengendalian hayati, termasuk eksplorasi cendawan entomopathogen di sentra kedelai Jawa Timur dan Lampung untuk isolasi CEP virulen.
Dia berhasil mengembangkan formula biopesticida Bio-Lec dengan konidia CEP Lecanicillium lecanii untuk mengendalikan hama kepik coklat riptortus linearis. Selain itu, dia juga menciptakan formula biopestisida Be-Bas untuk mengendalikan hama tersebut dan hama lainnya pada budidaya kedelai non-pestisida kimia.
Implementasi teknologi CEP Bio-Lec dan Be-Bas sudah dilakukan sejak tahun 2018 di sentra produksi kedelai di Banyuwangi melalui kegiatan demfarm budidaya kedelai non pestisida kimia (BUDENOPI).
“Hasilnya signifikan dalam menekan populasi B. tabaci yang sudah resisten terhadap insektisida deltametrin,” ungkap Yusmani.
Selain memberikan solusi pengendalian hama yang efektif, adopsi teknologi CEP juga mampu menyelamatkan hingga 395 juta jiwa per tahun dari keracunan pestisida kimia, dengan 11.000 di antaranya meninggal dunia menurut data WHO.
“Inovasi biopestisida CEP tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menjamin produk pangan yang sehat dan bernutrisi tinggi, mendukung sistem pertanian berkelanjutan,” tambah Yusmani.
Implementasi biopestisida CEP secara massal terus dilakukan, menggantikan pestisida sintetis di perusahaan yang memprioritaskan produk bebas residu pestisida seperti PT Garuda Food dan PT Hortindo Agrokencana.
“Ada sekitar 16 hama yang sering menyerang tanaman kedelai di Indonesia, namun empat jenis di antaranya merupakan hama penting yang menyerang hampir seluruh sentra produksi kedelai di Indonesia,” kata Yusmani.
Untuk itu, Yusmani menekankan pentingnya pemberdayaan dan penyediaan logistik biopestisida agar dapat diimplementasikan secara masif.
“Strategi implementasi CEP melibatkan kolaborasi dengan industri untuk produksi, pelatihan dan penyuluhan adopsi teknologi CEP, serta produksi massal biopestisida,” jelasnya.