Panennews.com – Petugas dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT berhasil menangkap seekor buaya berukuran 3,97 meter di Perairan Mulut Seribu, Kecamatan Landu Leko, Kabupaten Rote Ndao, yang selama ini menjadi sumber kekhawatiran bagi nelayan dan petani rumput laut lokal.
“Buaya jantan berukuran 3,97 meter tersebut berhasil ditangkap pada Senin kemarin,” kata Kepala BBKSDA Nusa Tenggara Timur, Arief Mahmud, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Panenews.com Selasa, 9 April 2024 sore.
Keberhasilan penangkapan ini jelas Arief berawal dari laporan masyarakat pada tanggal 2-5 April 2024 terkait kemunculan buaya di perairan setempat yang juga merupakan kawasan pariwisata. Masyarakat melaporkan bahwa buaya tersebut telah beberapa kali muncul pada tanggal 7 Maret, 22 Maret, dan 2 April 2024.
Kehadiran buaya tersebut menyebabkan kecemasan di kalangan masyarakat karena telah menyerang ternak warga, seperti kambing, serta mengganggu aktivitas nelayan, petani rumput laut, budidaya lobster, dan kegiatan masyarakat lainnya.
“Tim kami dari Resort Suaka Margasatwa Harlu di Desa Daiama ditugaskan untuk verifikasi laporan serta assesment kondisi lapangan dan memastikan kebenaran laporan masyarakat. Setelah melakukan penilaian kondisi lapangan dan memastikan kebenaran laporan tersebut, lalu menyusun data pendukung untuk operasi penangkapan atau relokasi buaya itu ,” jelas Arief.
Dia menyebutkan pada tanggal 6 April 2024, anggota Unit Penanganan Satwa BBKSDA NTT berangkat ke lapangan untuk melakukan penanganan. Tim tersebut berkoordinasi dengan kepala Desa Daiama dan warga pelapor.
Setelah melakukan orientasi di lapangan, tim segera memasang jerat dan melakukan observasi malam. Pada hari kedua operasi pada Senin, 8 April 2024, antara pukul 02.00-04.00 Wita, seekor buaya jantan berukuran 3,97 meter berhasil ditangkap.
“Buaya tersebut kemudian diproses untuk direlokasi dari Perairan Mulut Seribu, Kabupaten Rote Ndao, ke Kota Kupang. Buaya tersebut akan ditempatkan di kandang penampungan sementara di Kupang untuk proses lebih lanjut ,” kata Arief.
Lebih lanjut Arief membeberkan, interaksi negatif antara satwa liar buaya dengan manusia di NTT cukup tinggi dibanding provinsi lain.
Pada basis data korban konflik buaya dengan manusia BBKSDA NTT tahun 2023, tercatat 15 (lima belas) warga menjadi korban serangan buaya, 5 (lima) orang diantaranya meninggal. Terbanyak yaitu di Pulau Timor (7 kejadian), di Pulau Sumba (6 kejadian) serta Flores dan Lembata masing-masing 1 kejadian.
“Pada tahun 2024 hingga April 2024, terdapat dua (2) kejadian konflik buaya dengan manusia yang mengakibatkan 1 orang meninggal ,” katanya.
Penyelesaian interaksi negatif ini sebut Arief harus dilakukan dengan memperhatikan akar permasalahan. Antara lain perbaikan habitat berupa hutan mangrove yang rusak serta membatasi aktifitas masyarakat pada kawasan yang diperuntukan sebagai habitat satwa.
“Insiden buaya yang muncul di area publik, dimungkinkan terjadi karena buaya yang mencari habitat baru akibat habitat aslinya yang rusak. Selain itu karena adanya persaingan teritorial yang mengakibatkan individu tertentu harus pindah ,” ungkap Arief.
“Pada kasus tertentu, buaya juga berinteraksi dengan masyarakat saat mereka melintas untuk pindah atau mencari makan ,” tambah Arief.
Solusi jangka pendek yang diambil pemerintah saat terjadi interaksi negatif khususnya pada areal publik atau wilayah yang dekat dengan pemukiman yaitu degan menangkap dan merelokasi buaya ke tempat tertentu.
Dengan cukup banyaknya buaya yang saat ini berada pada penampungan sementara di BBKSDA NTT, perlu dilakukan upaya untuk mengubah masalah menjadi peluang misalnya dengan dibangunnya fasilitas lembaga konservasi umum yang antara lain dimanfaatkan untuk wisata.
BBKSDA NTT menghimbau masyarakat untuk tidak mengambil langkah sendiri saat terjadinya pertemuan dengan buaya.
“Masyarakat juga diingatkan untuk tidak membuang sisa makanan di laut yang dapat memancing kehadiran buaya dan melaporkan kejadian interaksi negatif buaya melalui Call Center BBKSDA NTT ,” tutup Arief.