Panennews.com – Wakil Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana (FP Unud) Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S, kemarin, Senin (18/09/2023) di Jimbaran, Kabupaten Badung, Provinsi Bali menghimbau stakeholder pertanian merubah cara pandang dalam pemanfaatan tanah.
Revolusi hijau, tegas dosen Prodi Agroekoteknologi Pertanian itu, telah merubah pola pikir sebagian besar orang yang memandang tanah tidak semata-mata sebagai sumber kehidupan namun tanah dimanfaatkan sebagai “bahan baku” industri.
“Hentikan eksploitasi tanah untuk kepentingan industrialisasi.Jadi tanah harus dikelola secara efektif dan efisien sehingga tanah ditarget mampu menghasilkan yang setinggi tingginya. Caranya, dengan penggunaan bahan-bahan sintetik dan bibit unggul, fokus masyarakat yang bergerak dalam bidang pertanian hanya memberi makan tanaman, mereka tidak memberi makan tanah,” jelas Prof. Ni Luh Kartini.
Lebih lanjut, dirinya menyampaikan penerapan teknologi modern dengan aplikasi pupuk dan obat-obatan pertanian kimia berdampak pada merosotnya kualitas tanah.
Selain itu, Prof. Ni Luh Kartini juga mengingatkan semua pihak untuk konsisten mengembangkan pertanian organik.
Optimalisasi sumber daya lokal dan kearifan lokal, lanjutnya, hanya bisa dilakukan dengan penerapan sistem pertanian organik.
“Sumber daya lokal yang dapat digunakan untuk pengembangan pertanian organik adalah cacing tanah,” tuturnya.
Dirinya mengatakan, Cacing tanah, katanya, dapat digunakan untuk memproduksi pupuk cacing.
Kartini yakin pengembangan pertanian organik dapat didorong untuk dipercepat untuk menghindari akses penggunaan bahan-bahan kimia di sektor pertanian.
Dijelaskan, akibat penggunaan bahan kimia di pertanian telah menyebabkan air susu ibu (ASI) terkontaminasi sehingga berdampak tidak sehat bagi pertumbuhan bayi.
“Berdasarkan penelitian WHO tahun 1990-an, katanya, seorang ibu yang air susunya terkontaminasi residu kimia akibat konsumsi bahan makanan non organik, sekitar 20% pertumbuhan bayi terganggu akibat ASI sang ibu,” paparnya.
Diakuinya, pengembangan pertanian organik di Indonesia masih sangat sempit, hanya sekitar 0,05 juta Ha.
Provinsi Bali berpeluang mengembangkan pertanian organik karena, kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan organik semakin tinggi.
“Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pengembangan pertanian organik,” cetusnya.
Dirinya menambahkan, Pemerintah Provinsi Bali mendeklarasikan pertanian Bali dikelola dengan sistem pertanian organik tahun 2005.
Sebagai informasi, pada 2009, Pulau Bali mendeklarasikan Bali menjadi pulau organik dan adanya Kebijakan Go Organik 2010 dengan pengembangan 1000 desa organik.
“Yang terpenting sudah disahkan Perda Bali Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Sistem Pertanian Organik, dilanjutkan Peraturan Gubernur (Pergub)Provinsi Bali Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut serta peraturan lainnya. Regulasi ini tinggal dibuatkan petunjuk teknisnya sehingga pertanian organik benar-benar berkembang di Bali,” tutup Kartini.