BRIN Minta Periset Kembangkan Tanaman Massoi, Hasil Hutan Papua Yang Potensial

oleh -5 views
weeds growing around the rock
Ilustrasi Tanaman Massoi di Hutan Papua, Foto : Istockphoto

Panennews.com – Tanah Papua yang terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan rumah besar bagi keanekaragaman hayati di Indonesia.

Keberlanjutan keanekaragaman hayati khususnya endemik Papua masih menjadi tantangan agar dapat dipertahankan.

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Potensial Asli Papua merupakan obyek riset yang sangat menarik karena merupakan bagian dari diversity yang ada di Indonesia.

Hal tersebut seharusnya segera dieksplor karena menyimpan potensi yang sangat besar mulai dari hulu sampai ke hilir.

Demikian disampaikan Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asep Hidayat dalam membuka acara Jamming Session 9 bertajuk “Menguak Hasil Hutan Bukan Kayu Potensi Asli Papua”.

“Saya berharap tim periset khususnya yang ada di Kelris Ekologi Papua bisa memetakan semua sebaran hasil hutan bukan kayu yang ada di Papua. Bukan hanya sagu dan massoi ataupun rotan, tetapi potensi-potensi hasil hutan bukan kayu yang lain,” ungkap Asep, Rabu (03/07/2024).

Selain itu, Dirinya juga meminta tim periset untuk dapat menjawab keberadaan tanaman endemik Papua lainnya serta menginformasikan mekanisme interaksi ekosistemnya.

Baca Juga :   KLHK Gandeng Akademisi Ke IKN Bahas Menuju Hutan Alam Tropika Kalimantan

Hal tersebut sangat penting untuk mengetahui ciri khas keunikan komoditi HHBK di Papua. Selanjutnya ini menjadi tugas riset dari periset khususnya yang mengamati ekologi Papua.

Salah satu tanaman endemik Papua adalah massoi atau Criptocarya massoy yang perlu dikembangkan karena memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Di dunia genus Criptocarya terdapat 396 jenis di hutan Papuasia dan baru ditemukan 77 jenis.

Pudja Mardi Utomo Peneliti Ahli Madya PREE BRIN menyebutkan, minyak esensial dari massoi di pasaran memiliki harga yang tinggi, sebagai contoh ukuran 500 ml minyak massoi dihargai sekitar IDR 20.423 juta.

Sementara di Papua harga bahan baku dari kulit kering massoi sangat rendah dengan kisaran harga 60-120 ribu per kg kering.

“Cara panennya masih dengan cara destruktif yaitu penebangan hanya mengambil bagian kulitnya saja, sementara bagian yang lainnya dibuang. Padahal bagian-bagian yang terbuang itu baik kayu, ranting, daun, dan akar jika diolah masih memiliki nilai ekonomi. Hal ini karena semua bagian tersebut mengandung masoi lakton sebagai bahan baku essential oil massoi,” jelas Puja.

Baca Juga :   Pegunungan Kendeng Dituding Jadi Biang Bencana, Reboisasi Digalakkan

Selama ini penampung hanya membeli bagian kulitnya saja dengan tujuan untuk diekspor, perlu upaya-upaya untuk menaikkan produktifitas tanaman ini.

Mulai dari pengadaan bibit unggul, cara budidaya, cara panen sampai perlakuan pasca panen, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonominya.

Tanaman massoi ini merupakan tanaman adaptif yang dapat tumbuh mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Di daerah Fakfak tanaman ini menjelma menjadi hutan tanaman alami.

“Bagi masyarakat Papua, tanaman massoi merupakan tanaman keramat yang dihormati sehingga untuk memanennya pun memakai ritual dan hanya mengambil bagian serpihan-serpihan kecil saja. Hal inilah yang menyebabkan massoi tidak bisa berkembang dan ditingkatkan nilai ekonominya. Inilah tantangan bagi periset untuk mengembangkan massoi menjadi tanaman budidaya,” terang Puja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.