Panennews.com – Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP-21) di Paris pada 2015 telah menyiapkan dana senilai US$ 100 miliar hingga 2020 bagi yang bersedia menjalankan investasi hijau.Gagasan ini mendorong banyak negara untuk giat melakukan investasi hijau (green investment). Namun tidak mudah untuk mendapatkan dana ini, setiap negara harus mewujudkan rencana aksi pengurangan emisi gas rumah kaca sesuai kontribusi nasional yang ditetapkan (Nationally Determined Contribution/NDC).
Indonesia pun berusaha menangkap peluang ini. Strategi investasi hijau itu dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pemerintah ingin meraih investasi hijau hingga sekitar Rp 1,3 triliun dalam lima tahun ke depan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga tengah menyiapkan RPJMN 2020-2024 hijau dan Green Growth Plant (GGP) masuk dalam RPJMN ini.
Menurut Zakki Hakim selaku Direktur Program Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH) mengatakan, kami telah coba menjalankan berbagai model investasi hijau. Salah satunya adalah konsep Produksi, Proteksi, dan Inklusi (PPI).
“Mereka berada dalam satu lembaga yang bersifat setara dan diikat dalam sebuah perjanjian, yakni PPI Compact,” ujar Zakki. Dalam PPI Compact, semua pihak menyepakati produk apa yang hendak dikembangkan, teknologi seperti apa yang akan digunakan, serta hal-hal teknis lainnya, dengan mengacu pada Green Growth Plan (GGP) yang sudah ditetapkan pemerintah daerah. Langkah selanjutnya YIDH akan mencari investor dimana YIDH ikut menyertakan modal 30% dari total investasi, sementara mitra investor lainnya sebesar 70 persen. “Investasi dari kami untuk memastikan bisnis tetap berjalan. Setelah tiga atau empat tahun bisnisnya berjalan mandiri, kami keluar,” kata Zakki.
Dengan konsep ini dapat meningkatkan produksi sumber daya alam, sambil melindungi kawasan hutan di sekitar lokasi usaha dan menjadikan masyarakat sebagai aktor yang masuk dalam rantai nilai komoditas berkelanjutan. Model bisnis ini hanya dapat berjalan dengan melibatkan semua pihak, baik dari pemerintah daerah, swasta sebagai penyandang dana, lembaga swadaya masyarakat, serta petani.
Ada beberapa produk yang menjadi proyek percontohan YIDH, di antaranya kopi, budidaya udang, sawit, dan kakao. Model bisnis yang dikembangkan disesuaikan dengan karakteristik daerah, jenis produk, serta industrinya, dengan mengusung konsep PPI. YIDH menggandeng swasta sebagai pemodal untuk memastikan bisnis hijau terus berjalan.
Contohnya di Jambi, YIDH bermitra dengan Asian Agri dan menggandeng Yayasan Setara Jambi. Yayasan Setara ini yang melakukan pendampingan terhadap 5.000 petani swadaya sawit, dengan total luas lahan mencapai 10.000 hektar. Dengan adanya pendampingan, pola kelembagaan petani semakin solid dan mereka menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) secara taat. Kualitas buah dan harga jual menjadi lebih baik dan bisa langsung dijual ke pabrik Asian Agri. Perusahaan pun mendapat pasokan sawit lebih stabil dan mutu terjamin.