Panennews.com – Fenomena mengeringnya Sungai Silugonggo (Sungai Juwana) di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, membuat nelayan tradisional sangat terdampak.
Mengingat, kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, meski dilanda kemarau ekstrem.
Namun tahun ini berbeda, awal masa kemarau sejumlah titik Sungai Silugonggo tak ada aliran air, bahkan hanya untuk sekedar genangan.
Sungai Silugonggo sendiri adalah sungai terbesar yang membelah wilayah kabupaten berjuluk Bumi Mina Tani.
Perahu-perahu kecil yang biasa wara-wiri mengarungi alur sungai inipun terpantau kandas, karena memang tak ada air di lokasi.
Nelayan terpaksa mengencangkan ikat pinggang karena hilang mata pencaharian, yakni tidak lagi bisa mencari ikan.
Nelayan Tradisional, Lasno, mengaku nyaris sebulan tidak bisa mencari ikan akibat sungai yang mengering.
“Saya sudah hidup 71 tahun, baru kali ini sungai ini tidak ada airnya. Ini tentunya merugikan. Tidak sumber airnya saya tidak bisa cari ikan,” keluh warga Desa Mintobasuki, Kecamatan Gabus itu, Rabu (11/9/2024).
Lasno mengungkapkan, Sungai Silugonggo menjadi satu-satu sumber ekonominya. Per hari ia bisa mendapatkan puluhan hingga ratusan ribu dari mencari ikan di sungai ini.
“Biasanya sehari dapat ikan sekitar 25 kilo bahkan bisa setengah kwintal. Ada lundu, gabus, rengkek. Itu kalau diuangkan bisa Rp 50 sampai 150 ribu. Benar-benar jadi penghasilan,” tuturnya.
Dia menyebut ada ratusan nelayan tradisional lainnya yang senasib dengannya. Kehilangan mata pencaharian akibat mengeringnya Sungai Silugonggo.
“Ada ratusan nelayan di sini. Ada yang dari Mintobasuki, Banjarsari, Gadingrejo, Bungasrejo. Sudah tidak cari ikan satu bulan ini. Jadi nelayan kecil ini nganggur,” keluhnya.
Senada, Pardi, nelayan tradisional asal Desa Banjarsari, Kecamatan Gabus juga mengeluhkan hal yang sama.
Pria berusia 45 tahun ini sudah hampir sebulan menganggur akibat tak ada air di Sungai Silugonggo.
Lelaki yang juga merupakan Ketua RT 1 RW 02 Banjarsari itu menyebut, di RT saja ada sebanyak 27 nelayan tradisional yang mengandalkan sungai ini untuk menafkahi keluarganya. Namun mereka kini kehilangan mata pencaharian semua.
“Sudah tidak bisa kerja. 3 Minggu lebih ini nganggur. Padahal ada 27 nelayan di sini. Itu belum RT yang lain,” terangnya.
Pardi juga mengaku baru pertama kali merasakan Sungai Silugonggo mengering. Ia menilai peristiwa terjadi setelah adanya pembangunan Bendung Karet.
“Kemarau dulu-dulu masih bisa cari ikan karena ada airnya. Bendungan itu yang menjadi kendalanya. Bendung Karet dioperasi airnya tidak bisa ke sini,” tegasnya.
Tak hanya nelayan, petani yang berada di bantaran Sungai Silugonggo juga terkena dampak peristiwa ini. Para petani tak bisa mengaliri sawah akibat Sungai Silugonggo mengering.
Petani asal Desa Banjarsari Iskandar (56) merasa khawatir tanaman padinya akan gagal panen akibat mengeringnya Sungai Silugonggo ini.
“Ini sudah mulai masa tanam. Sudah pupuk. Tapi air di sungai tak bisa disedot lagi karena belum ada airnya,” ungkapnya.
Ia menilai mengeringnya Sungai Silugonggo imbas pembangunan Bendung Karet. Menurutnya, bendung karet membuat air mengendap di muara sungai Juwana.
“Ini dampak Bendung Karet. Air bisa balik ke sini. Tidak ada sumber dari hulu,” sebutnya.