Panennews.com – Cabai merupakan komoditas penting di Indonesia, berpengaruh signifikan terhadap inflasi nasional.
Pada November 2023 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa cabai merah dan cabai rawit menyumbang 0,27 persen terhadap inflasi.
Kenaikan harga cabai disebabkan oleh cuaca yang tidak menentu akibat El Niño dan masalah distribusi yang mengganggu pasokan.
Hal ini mencerminkan kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim dan tantangan distribusi pangan, yang berdampak pada daya beli masyarakat serta stabilitas ekonomi negara.
Menurut Puji Lestari, Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan di BRIN, cabai masih menjadi komoditas strategis di Indonesia.
Saat ini, cabai juga menjadi bagian dari riset dan inovasi di badan pangan, khususnya di BRIN. Oleh karena itu, cabai perlu dimasukkan dalam kategori komoditas pangan utama dan diprioritaskan sesuai dengan Perpres No. 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pemerintah.
Hal ini diungkapkannya pada webinar HortiActive seri #9 dengan tema “Pemuliaan Cabai Berbasis Sumber Daya Genetik Lokal, Spicing Up National Agriculture,” yang diadakan pada Rabu (18/09/2024).
Ia menjelaskan bahwa pada tahun lalu, cabai merah tetap menyumbang inflasi, dengan kenaikan harga yang cukup tinggi akibat cuaca yang tidak menentu dan masalah distribusi.
Ini mencerminkan kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim dan tantangan distribusi pangan, yang berdampak pada daya beli masyarakat serta stabilitas ekonomi negara.
“Sebenarnya, Indonesia merupakan produsen cabai segar terbesar ketiga di dunia dengan produksi 3,02 juta ton, setelah Cina dan Meksiko. Namun, berdasarkan produktivitasnya, Indonesia masih rendah, hanya 9,03 ton/ha, dibandingkan dengan Cina dan rata-rata dunia. Meskipun produksi nasional cukup untuk konsumsi dalam negeri, dengan surplus 1,814 juta ton pada 2022, kesenjangan produksi antar waktu dan wilayah menyebabkan ketidakstabilan pasokan cabai,” ungkap Puji.
Selain itu, Puji juga menyatakan bahwa ketersediaan varietas unggul yang toleran terhadap kondisi kering dan curah hujan tinggi, serta adanya La Niña, ketahanan hama, dan penyakit, tentu berdampak pada produktivitas cabai.
Harapannya, varietas-varietas ini dapat adaptif terhadap lokasi-lokasi spesifik dan menjadi salah satu kunci untuk menjawab permasalahan cabai. Oleh karena itu, pemuliaan cabai perlu mengarah ke genetik yang lebih modern, bukan pemuliaan klasik.
“Dengan memanfaatkan keanekaragaman genetik cabai lokal, pemuliaan cabai tidak hanya berpotensi meningkatkan produktivitas dan kualitas, tetapi juga menawarkan ketahanan terhadap penyakit dan perubahan iklim, yang sering menjadi penghambat produksi pertanian. Selain itu, fokus pada pemuliaan tanaman yang sesuai dengan kondisi ekologis dan budidaya setempat dapat menghasilkan varietas yang lebih adaptif dan mampu meningkatkan pendapatan petani lokal,” pungkasnya.