Panennews.com – Keberhasilan panen Sorgum di Kabupaten Lembata Provinsi NTT 2024 ini dapat mengatasi gagal panen padi dan jagung di Kabupaten ujung Timur Pulau Flores ini.
Tanaman Sorgum ini yang sudah dibudidayakan sejak 9 tahun lalu kini membuahkan hasil. Panen dua kali setahun dapat mengatasi membantu para petani untuk kebutuhan pangan.
Pada 23 Mei 2024 lalu dilakukan panen kedua musim tanam 2024 ini. Panen ini dilaksanakan di kebun Kelompok Tani Sorgum Ile Nogo, Desa Wuakerong Kecamatan Nagawutung Kabupaten Lembata dan hasilnya cukup bagus.
Hasil positif panen ini hampir pasti berbanding terbalik dengan potret kegagalan banyak petani di Lembata, menyusul menurunnya hasil panen tanaman padi dan jagung yang tersebar hampir merata di kabupaten satu pulau ini.
Tanaman Sorgum ini dirintis 9 tahun lalu oleh Ibu Maria Loretha. Karena itu oleh para petani di Kabupaten Lembata Ini Maria Loreta ini lebih disapa Mama Sorgum.
Dalam usaha budi daya sorgum ini Ibu Maria Loretha bekerja sama dengan Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Keuskupan Larantuka (Yaspensel) di Kota Lewoleba, Lembata. Lembaga ini bersinergi dengan Yayasan Kehati Indonesia dalam Program Pengembangan Pangan Lokal di Kabupaten Flores Timur dan Lembata
“Tanaman sorgum ini sangat adaptif dengan model pertanian lahan kering, tumbuh subur dan siap dikonsumsi. Jadi panen sorgum bulan Mei ini seolah oase di tengah fenomena gagal panen jagung dan padi di Lembata ,” kata Maria Loretha.
Sesuai data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lembata sebut Maria Loretha kerusakan tanaman jagung akibat kekeringan musim tanam 2023/2024 per 20 Februari 2024 cukup signifikan.
Luas kerusakan tanaman jagung sebanyak 2704,45 hektare dari total 3673,72 hektare luas di Kabupaten Lembata.
“Kerusakan tanaman jagung ini berdampak pada 7932 jumlah kepala keluarga tani (KKT) dengan total jumlah tanggungan dalam keluarga 24.523 orang. Karena itu tentunya Sorgum menjadi alternative bagi para petani ,” jelas Maria Loretha.
Menurut dia, pemerintah daerah harus paham dengan situasi alam yang terus berubah. Ada gelombang panas, El Nino dan La Nina yang sebabkan petani gagal tanam dan gagal panen.
“Pemkab Lembata harus peduli melihat alternatif tanaman sorgum ini untuk ketahanan pangan. Ini karena sorgum tahan banting dengan situasi alam, iklim yang tidak bersahabat ini,” kata Maria Loretha.
Maria Loretha yang penggerak pangan lokal di NTT ini juga menyebutkan, pangan lokal yang pernah berjaya di masa lalu adalah sorgum. Ini sebenarnya merupakan fondasi orang yang bisa dikembangkan kembali di Lembata.
Perjuangan menjaga eksistensi pangan lokal di tengah masyarakat itu lanjut Maria tidak selalu mudah. Masyarakat dengan tahu dan mau melupakan kejayaan pangan lokal termasuk sorgum yang dulu selalu ada di meja makan.
“Budidaya Sorgum ini untuk bisa mengatasi, meminimalisir derasnya distribusi makanan atau produk pangan dari luar yang membuat orang malas untuk mengolah makanan lokal mereka. Karena itu selain untuk makan, kami juga sosialissaikan cara membuat pangan lokal seperti kue kering dan lainnya ,” kata Maria.
Salah satu petani sorgum di Lembata Vibronia Peni mengakui budidaya tanaman ini sudah dijalankan sejak 9 tahun lalu. Sorgum mengisi lumbung, dapur dan meja makan untuk keluarganya.
“Saya sangat terbantu dengan panen kali ini karena pas stok panen yang tahun lalu sudah habis. Kami sudah pake semua. Untuk makan, buat nasi dan bubur. Ada yang jadi benih,” kata Vibronia Peni.
Petani sorgum lainnya Erlin Wutun mengakui telah mengusahakan tanaman sorgum di kebunnya sejak 2016 lalu. Dia yang gemar membuat aneka kue dan jajanan, lantas beralih pada sorgum sebagai bahan bakunya.
“Saya berpisah dengan trigu. Ini karena semua aneka kue yang saya buat dan jual dipasaran semuanya berbahan baku tepung sorgum. Khusus untuk kue kering, sudah memutuskan semuanya Full Sorgum ,” kata Erlin Wutun.
“Baru 2 Minggu lalu, saya kirimkan paket kue kering sorgum ke Jakarta. Orang di sana itu sudah beberapa kali pesan. Dan awal bulan Mei 2024 ini saya juga kirim 50 toples kue kering sorgum ke Sumba. Semuanya ludes. Satu toples Rp 35.000,” tambah Erlin Wutun.
Sementara itu Benediktus Kia Assan, peneliti pangan lokal di Lembata, menjelaskan, dalam konteks yang lebih jauh, pemerintah daerah sendiri selama ini belum mempunyai perspektif yang baik perihal pentingnya mengembalikan kejayaan pangan lokal di tengah masyarakat.
Menurut dia, pemerintah masih selalu berbicara tentang beras yang diimpor dari luar untuk memenuhi kebutuhan makan masyarakat di tengah situasi perubahan iklim dan gejolak perang Rusia-Ukraina. Padahal beragam pangan tradisional di NTT dan di Lembata khususnya sudah memiliki daya tahan yang baik terhadap kekeringan.
“Ketergantungan pada beras dan pangan dari luar pulau melemahkan daya tahan masyarakat berhadapan dengan perubahan iklim dan juga memperburuk kesehatan. Karena itu apa yang dirintis Maria Loreta membudidayakan sorgum di Lembata ini kami apresiai ,” kata Benediktus