Panennews.com – Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terus mendorong peningkatan produksi kedelai lokal, termasuk varietas kedelai Grobogan.
Apalagi, dibanding kedelai impor, kedelai lokal memiliki kandungan protein lebih tinggi, dan lebih sehat karena fresh.
Seiring dengan harga jual yang membaik, para petani kini bersemangat menanam komoditas kedelai lokal.
Seperti yang diungkapkan oleh petani asal Desa Pojok, Kecamatan Pulokulon-Grobogan Bisri Mustofa.
Ia mengatakan, kebiasaan menanam kedelai di lahan sudah mendarah daging di wilayah tersebut. Akan tetapi, minat petani bertanam kedelai naik turun, seiring dengan fluktuasi harga kedelai.
Menurutnya, harga kedelai sempat anjlok di bawah Rp6.000 per kilogram pada 2017-2019 lalu.
“Tahun itu sempat kendho (berkurang) untuk menanam kedelai, karena musim dan harganya tidak mendukung. Namun kini, harga per kilogram sampai Rp10 ribu,” ujar Bisri, Jumat (10/11/2023).
Dikatakan, tanaman kedelai cukup gampang ditanam. Selain itu, perawatannya mudah, dan tidak memerlukan pupuk ekstra.
Oleh karena itu, ratusan petani di Desa Pojok memilih kedelai sebagai tanaman pangan selain jagung dan padi.
“Kalau di Grobogan rerata petani menanam varietas Grobogan. Dulu kan awalnya tanam varietas Malabar, tapi kalau jenis itu petani bilang (sifat tanaman) berubah. Nah jadi sekarang ya pakai varietas Grobogan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Grobogan, Sunanto menambahkan, varietas lokal memiliki kualitas baik, tak kalah dari kedelai impor.
Bahkan, varietas Grobogan dinilai lebih unggul karena belum direkayasa secara genetis.
Selain itu, keunggulan varietas lokal juga di antaranya, umur tanaman yang pendek sekitar 76-85 hari siap panen, produktivitas tinggi, dan protein yang lebih tinggi.
“Kita pernah menanam itu produktivitasnya 3,6 ton per hektare untuk varietas Grobogan. Selain itu proteinnya lebih tinggi lokal yang mencapai 43-44 persen, dibanding impor yang hanya 38 persen. Selain itu kedelai lokal lebih fresh, sementara kedelai impor adalah transgenik atau Genetically Modified Organism (GMO). Kalau kedelai kita non-GMO lebih sehat,” paparnya.
Secara data, Sunanto memaparkan produksi kedelai Grobogan mengalami fluktuasi. Pada 2018 panen petani kedelai mengalami kejayaan.
Pada tahun tersebut luasan produksi kedelai mencapai 60 ribu hektare. Setelahnya, pada 2019 lahan kedelai turun menjadi 15 ribu hektare, lalu 2020 menyusut kembali menjadi hanya 6.000 hektare.
“Kelemahannya, masyarakat belum percaya benih lokal bisa untuk tahu atau tempe. Maka dari itu, kita dirikan Rumah Kedelai Grobogan, yang di sana tahu dan tempe dihasilkan dari benih-benih lokal. Dan benih kedelai Grobogan itu menyuplai sekitar 75 persen kebutuhan benih nasional,” sebut Sunanto.