,

Menteri KKP Sampaikan Jurus Hadapi Penolakan Produk Perikanan Indonesia di Pasar Global

oleh -100 views
Humas KKP

Panennews.com- Indonesia merupakan negara penghasil Perikanan yang cukup tinggi dengan segmentasi pasar ekspor ke beberapa negara Amerika Serikat, Tingkok, ASEAN, Uni Eropa dan Timur Tengah. Berdasarkan data tahun 2020, sebanyak 2.191 unit pengolahan ikan (UPI) juga telah menembus ekspor ke 157 negara mitra.

Adapun komoditas ekspor utamanya meliputi udang, tuna-cakalang-tongkol, cumi, kepiting-rajungan, rumput laut, dan ikan layur. Dibalik tingginya data ekspor tersebut, pelaku eksportir produk perikanan Indonesia kerap kali menerima penolakan produk karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan negara tujuan ekspor.

Menurut data US Food and Drug Administration (FDA) per Desember 2020, pada tahun 2020 terdapat 97 kasus penolakan ekspor perikanan dari Indonesia. Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Sjarief Widjaja, menegaskan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, telah mengingatkan pentingnya jaminan mutu produk ekspor perikanan Indonesia, karena hal tersebut akan menentukan daya saingnya di pasar dunia.

“Jaminan mutu ini penting sebagai upaya meningkatkan kepercayaan pasar dunia terhadap produk perikanan Indonesia. Karenanya, harus benar-benar diperhatikan untuk mendukung upaya KKP, sehingga ekspor produk perikanan Indonesia terus meningkat walaupun pandemi Covid-19 masih melanda dunia. Harus dipastikan bahwa customer akan menerima produk berkualitas, bermutu baik, tidak tercemari kontaminan kimia, biologi, maupun fisik yang dapat mengganggu perdagangannya”. Kata Sjarief.

Hal ini disampaikan dalam arahannya saat membuka Webinar Food Safety Talk bertema Strategi Menghadapi Penolakan Produk Perikanan Indonesia di Pasar Global, yang diselenggarakan Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) pada 6 Mei 2021.

Baca Juga :   Karantina Pertanian Belawan Catat Ada Kenaikan Ekspor Hingga 23.61 T

Melalui webinar ini, Sjarief juga mendorong BBRP2BKP untuk dapat mengembangkan metodologi proses pengujian deteksi kontaminasi ikan, setelah ditangkap dari laut maupun hasil budidaya, sampai dengan proses ekspor, sehingga tidak ada lagi negara yang menolak produk perikanan Indonesia.

“Produk yang kita ekspor bukan hanya yang dapat langsung dikonsumsi. Banyak juga raw material yang kita ekspor. Tentu saja harus dipastikan bahwa tidak ada kontaminan-kontaminan yang terkandung di dalam produk yang kita kirim. Salah satu upaya yang dapat dilakukan BBRP2BKP adalah dengan mengembangkan test kit pengujian bahan berbahaya dalam produk perikanan untuk mengurangi risiko penolakan ekspor produk kita,” tegas Sjarief.

Dr. Dwiyitno, Peneliti BBRP2BKP terkait Keamanan Pangan, menuturkan bahwa hambatan yang umum dihadapi oleh pelaku eksportir produk perikanan Indonesia berupa penolakan produk karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan negara tujuan ekspor, diantaranya adalah adanya cemaran logam berat (merkuri dan kadmium), bakteri patogen, kandungan histamin yang melebihi ambang batas, kontrol suhu yang buruk, terjadinya kemunduran mutu produk, produk terkontaminasi kotoran, dan cemaran obat/bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan/melebihi ambang.

Dari sisi riset, dijelaskan Dwiyitno lebih lanjut, bahwa penolakan produk ekspor Indonesia dapat diantisipasi dengan melakukan monitoring secara kontinyu dan sistematis, didukung basis data dan informasi yang terintegrasi, mitigasi sumber cemaran potensial, serta efektivitas pengawasan melalui penerapan early warning dan zonasi pengelolaan kawasan.

Baca Juga :   Komisi IV Dorong Kementan Percepat Rencana Kerja Tahun Depan

Dari sisi kontaminasi biologi, Dr. Radestya Triwibiwo, Peneliti BBRP2BKP terkait Keamanan Pangan, menjelaskan bahwa sumber kontaminasi tersebut dapat berasal dari perairan tercemar, pakan tercemar, serta kontaminasi silang pada saat penanganan, penyimpanan, dan distribusi produk perikanan. Kontaminasi bakteri E. coli, Salmonella, dan Vibrio misalnya, dapat berasal dari perairan yang tercemar, bahan baku yang tercemar, dan kontaminasi saat penanganan produk (dari manusia).

Dituturkan lebih lanjut oleh Radestya, beberapa upaya untuk mencegah adanya kontaminasi tersebut adalah dengan meningkatkan jaminan mutu produk perikanan melalui sertifikasi mutu, penerapan traceability, dan penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan secara kelembagaan maupun dengan penerbitan peraturan. Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan pembinaan kepada pelaku usaha mulai dari hulu sampai hilir untuk memastikan produk yang dihasilkan terjamin mutu dan keamanannya.

Traceability atau ketertelusuran juga menjadi kunci jaminan mutu produk perikanan. Traceability meliputi keseluruhan input dan proses dalam kegiatan penanganan dan/atau pengolahan ikan, serta harus mampu mengidentifikasi asal atau sumber bahan baku dan kepada siapa produk dipasarkan atau didistribusikan (from farm-to-fork).

Saat ini, KKP juga tengah mengembangkan integrasi Sistem Telusur dan Logistik Ikan Nasional (Stelina) sebagai implementasi PP Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Melalui sistem ini, informasi yang memuat neraca ikan, ketertelusuran dan aspek keamanan pangan dapat dimonitor. Selain itu, Stelina juga menjadi instrumen pemantauan impor perikanan sekaligus memuat informasi syarat ekspor ke negara-negara tujuan ekspor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.