Panennews.com – Indonesia dikenal sebagai salah satu eksportir udang terbesar di dunia. Bahkan komoditas ini telah diekspor ke berbagai negara seperti Amerika Serikat (66,06 %), Jepang (19,3 %), Uni Eropa (4,54 %), negara – negara ASEAN (2,17 %), Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (1,95 %) dan ke negara lainnya (5,98%). Potensi tersebut juga masih bisa ditingkatkan mengingat kebutuhan pangan dunia cenderung mengalami kenaikan dalam hal konsumsi.
Guna menjaga geliat pasar ekspor sekaligus domestik, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendukung penuh peningkatan produksi udang yang berkualitas.
“Salah satu dukungan pemerintah adalah dengan mencegahan masuk dan tersebarnya penyakit yang menjadi ancaman bagi keberlanjutan industri udang di Indonesia,” kata Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), Rina di Jakarta, Selasa (15/9).
Organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) telah merilis daftar penyakit ikan dan udang yang harus diperhatikan oleh negara – negara anggota karena memiliki efek yang bersifat global (infectious fish disease). Penyakit-penyakit tersebut di antaranya white spot syndrome virus (WSSV) dan infectious hypodermal hematopoietic necrosis virus (IHHNV) pada udang.
Merespons hal tersebut, BKIPM telah menandatangani kerjasama dengan The Yellow Sea Fisheries Research Institute (YSFRI), RRT atau laboratorium yang telah diakui dan ditunjuk oleh OIE sebagai acuan di wilayah Asia untuk penyakit WSSV dan IHHNV. Rina memaparkan kerjasama tersebut diimplementasikan dalam “Twinning Laboratory Program” antara BKIPM dengan YSFRI yang berlaku selama 3 tahun.
“Salah satu target utama kerjasama ini adalah BKIPM memiliki laboratorium berstandar internasional dan diakui oleh OIE untuk menjadi acuan bagi pengujian WSSV dan IHHNV di wilayah Asia Tenggara,” terangnya.
Dikatakan Rina, penyakit ikan, termasuk udang telah menjadi tantangan global seiring dengan peningkatan produksi dan perdagangan produk perikanan antar negara. Bahkan banyak negara mengalami kerugian besar karena merebaknya penyakit ikan tertentu, baik yang berasal dari dalam negeri atau endemic fish disease, maupun penyakit ikan introduksi atau exotic fish disease dan yang timbul sebagai akibat peningkatan perdagangan yang massif atau transboundary fish disease.
“Masuk dan tersebarnya penyakit–penyakit tersebut ke dalam suatu wilayah atau negara bukan hanya berbahaya bagi industri budidaya namun juga bagi kelestarian sumber daya hayati ikan, terutama plasma nutfah asli,” urainya.
Rina memastikan, baik BKIPM, YSFRI dan OIE sepakat untuk tetap melanjutkan implementasi program meski dunia tengah dilanda pandemi Covid-19. Ketiga lembaga pun sepakat melakukan pembahasan secara virtual terkait sinkronisasi dan harmonisasi rencana aksi kerjasama bertajuk “Consultation of the OIE Twinning Lab Program Plan of Action” pada hari ini.
Kegiatan tersebut dibuka oleh Kepala Pusat Standardisasi Sistem dan Kepatuhan, Teguh Samudro dan menghadirkan narasumber perwakilan internasional diantaranya Dr. Mariana Marrana dari Sekretariat OIE Paris serta para tenaga ahli penyakit ikan YSFRI RRT dibawah pimpinan ahli penyakit udang internasional Prof. Dr. Qingli Zhang.
“Intinya kita merespon cepat dan melaksanakan early warning system dengan berupaya meningkatkan kapasitas laboratorium penguji penyakit udang yang valid dan berstandar internasional,” tandas Rina. [*]