Jalan Pintas Merauke Lumbung Pangan Organik Dunia [Bagian 2 (Habis)]

oleh -283 views
sawah
Ilustrasi Tanaman Padi di Sawah - Foto : Pixabay

Lokasi sawah di Merauke tersebar di lima distrik. Selain Kurik, tersebar di Distrik Tanah Miring, Semangga, Animha, dan Malind. Namun saat tim YKPN bersama sejumlah anggota kelompok Srikandi Solo terjun ke Merauke pada pertengahan Agustus 2019, situasi pertanian padi di kawasan perbatasan langsung RI dengan Papua Nugini dan Australia ini masih terlantar. Seolah diurus alakadar.

Terpetanya situasi tersebut berdasarkan observasi lapangan tim teknis YKPN, termasuk diri saya, pada sejumlah titik persawahan di Distrik Kurik dan Tanah Miring, dua kecamatan lumbung pangan Merauke. Baik korporat maupun masyarakat tani, pemupukan sawahnya masih menggunakan pupuk kimia secara berlebihan dan serampangan. Begitu pula penggunaan pestisida. Bahkan ditemukan kasus obat-obatan pertanian oplosan di areal sawah milik warga di dua distrik itu.

Di banyak lokasi sawah perusahaan besar Marauke Food Estate, antara lain salah satu perusahaan besar nasional berinisial ME di Kampung Sumber Rejeki di Distrik Kurik, produktivitas panennya sangat rendah: antara 1.5-2.0 ton/ha. Perusahaan besar lainnya pun sama. Seperti di Kampung Telaga Sari dan Harapan Makmur, masih di distrik yang sama.

Padahal, sejak 2015 Menteri Pertanian RI menargetkan panen di Merauke sampai 6-7 ton/ha dengan menggunakan varietas unggulan dari Balitbang Kementan RI. Jangan bandingkan dengan hasil panen YKPN di site Selor IV Distrik Kurik, bandingkan dengan panen para petani transmigran Merauke yang rata-rata bermukim sudah 20 tahun lebih.

Baca Juga :   Kebijakan Impor Beras 5 Juta Ton, Komisi IV Soroti Nasib Petani

Dalam observasi YKPN, produktivitas panen petani transmigran Merauke ditaksir mencapai 2.0-4.7 ton/ha. Antara lain di Kampung Sumber Rejeki dan Amunkai di Distrik Kurik serta Kampung Yaba Maru di Distrik Tanah Miring. Distrik Tanah Miring ini dikenal sebagai bumi paling subur di Merauke. Meski demikian, tetap tidak mampu panen 6 ton/ha, target minimal Menteri Pertanian 2015.

Kendalanya tetap sama: keseriusan pengelolaan, kondisi tanah dan air yang asam, kandungan racun masih tinggi pada tanah, serangan hama dan penyakit juga masih tinggi, serta perilaku petani yang salah mencontoh dalam teknis budidaya. Seperti pemupukan dengan pupuk kimia (N,P,K) di awal tanam yang berlebihan 1-2 ton/ha. Persoalan tingkat racun pada tanah Merauke pun selalu konstans. Persoalan ini juga kendala pertanian di belahan bumi Indonesia yang telah bergenerasi.

Persoalan intinya, para korporat warisan program Merauke Food Estate sejak awal sudah salah membawa dan memasukan teknologi dalam mewujudkan Marauke Lumbung Pangan Nasional. Hal inilah banyak ditiru oleh masyarakat petani setempat. Hal itu yang menjadi salah satu penyebab utama produktivitas panen masih rendah.

Baca Juga :   Soal Kebakaran Hutan, DPR RI Effendi Sianipar Sampaikan Masalahnya

Jadi, teknologi yang salah, SOP juga salah, serta infrastruktur antarjaringan irigasi dan jalan usaha yang tidak terintegrasi dari awal semakin menambah persoalan tersendiri. Akibatnya, terjadi pula inefisiensi dalam produksi selain hasil produksi menjadi rendah.

Alat mesin pertanian (Alsintan) atau mekanisasi pertanian di Merauke pun kurang tepat. Situasi pertanian padi di Merauke membutuhkan mekanisasi yang canggih; bukan Alsintan seadanya atau asal ada. Sebab, lahan pertanian Merauke begitu luas selain didukung topografinya yang datar.

Berdasarkan observasi YKPN: rata-rata petani lokal Merauke menguasai lahan pertanian mencapai 2-5 ha per Kepala keluarga (KK). Beberapa KK transmigran lama Merauke dari sejak 1980-an dan 1990-an, bahkan menggarap 1.000-5.000 ha lahan. Inilah kenapa bantuan Alsin dari pemerintah, sebagaimana temuan YKPN, masih ada yang mangkrak karatan, alias tidak dipakai berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.