Panenenews.com – Makanan lokal yang langsung diproduksi oleh petani tradional memang menjadi cara unik untuk bernostalgia dengan nilai kultur dan sejarah di dalamnya. Salah satu makanan lokal tersebut adalah singkong, selain sebagai bentuk menghargai petani dan merangsang bercocok tanam, mengkonsumsi makan singkong juga tidak akan menimbulkan potensi penyakit.
Singkong yang dalam bahasa latinnya disebut sebagai Manihot Utilisima atau juga disebut ubi kayu maupun ketela memang bukan berasal langsung dari Indonesia, melainkan dari negeri Amerika Selatan dengan perkembangannya yang liar di sebagian besar hutan.
Setelah banyak dikenal, tanaman singkong kemudian banyak disebarkan oleh bangsa Portugis ke seluruh dunia. Termasuk ke Indonesia yang masuk ke Maluku pada abad 16.
Dengan sifatnya yang mudah dicocoktanamkan, singkong juga dapat dipanen sesuai kebutuhan dan berlimpah. Karena sifatnya tersebut banyak khalayak menyebutnya sebagai “gudang persediaan di bawah tanah”.
Penyebaran singkong dibeberapa daerah di Indonesia memang cenderung lama, hingga pada tahun 1876 singkong bahkan masih kurang dikenal di beberapa bagian pulan Jawa meskipun sebenarnya tanaman singkong tersebut telah ditanam besar-besaran di pulau tersebut.
Setelah abad ke-20, konsumsi singkong berkembang pesat seiring perkembangan pangan pengganti jagung dan padi.
Saat ini memang nilai singkong sebagai makanan kurang dibandingkan beras atau jagung, namun justru ia menggantikan beras di berbagai bagian Jawa Tengah pada masa paceklik sebelum panen atau saat panen gagal.
Pandangan bahwa singkong memiliki reputasi buruk di kalangan pakar ekonomi pertanian karena kandungan proteinnya lebih rendah daripada padi dan peningkatan konsumsi per kapitanya biasanya dipandang sebagai tanda kemiskinan.
Meski begitu, peralihan makanan ke singkong menjadi bukti bagi dinamika pertanian tanaman pangan Pulau Jawa pada jamannya yang pernah sangat memperhatikan singkong sebagai makanan pokoknya, khususnya di era akhir kolonial.