Panennews.com – Seorang antropolog Michael R. Dove pernah meneliti sistem berladang yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Kantuk, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Dalam penelitian tersebut ditemukan masyarakat Dayak Kantuk berladang dengan sistem tebas-tebang-bakar sebagai strategi adaptasi orang Kantuk terhadap alamnya. Hutan hujan tropis mempengaruhi tingkat keasaman tanah cukup tinggi.
Berladang bagi masyarakat Dayak adalah praktik bercocok tanam dengan kearifan lokal, berdasarkan adat istiadat dan hukumnya dengan aneka benih lokal. Untuk mengurangi kadar asam tanah dan menambah hara atau kesuburannya, maka sistem tebas-tebang-bakar cocok di tanah Kalimantan
R Giring, antropolog dan dewan daerah Walhi Kalbar mengatakan, berladang berdasarkan kearifan lokal merupakan upaya melestarikan keanekaragaman hayati. Di ladang, masyarakat Dayak menanam aneka benih lokal seperti jenis-jenis padi, mentimun, palawija, labu, dan sayuran.
Berladang tak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, juga melestarikan ikatan spiritual ritual petani dengan tanah dan leluhurnya. Saat berladang, ‘jiwa-jiwa’ padi ditimang, dihormati, dan didoakan kepada Sang Pencipta agar tumbuh subur dan menghasilkan. Padi memiliki jiwa yang wajib dihormati.
Kata Giring, personifikasi padi sebagai entitas berjiwa menimbulkan sikap penghormatan tertentu orang-orang Dayak. Sebagai contoh, berlaku larangan bersiul ketika melewati atau memasuki ladang yang sudah ditumbuhi padi. Apalagi jika padinya menguning. “Bersiul atau berteriak-teriak dipercayai akan mengusik jiwa padi dalam bahasa Bakatik,” lanjutnya.
Berladang bagi masyarakat Dayak adalah praktik bercocok tanam dengan kearifan lokal, berdasarkan adat istiadat dan hukumnya dengan aneka benih lokal. Berladang berdasarkan kearifan lokal merupakan upaya melestarikan keanekaragaman hayati. Di ladang, masyarakat Dayak menanam aneka benih lokal seperti jenis-jenis padi, mentimun, palawija, labu, dan sayuran.